Menebar jamur meraup untung

on 27 April 2009


Budaya pola hidup sehat yang kini merebak di tengah masyarakat kita benar-benar menjadi berkat bagi orang yang hidupnya di pedesaan. Mau bukti?

Saat ini, akibat tren minat masyarakat terhadap sayuran organik memuncak akibat pola hidup sehat telah menjadi gaya hidup masyarakat, jamur (termasuk jamur tiram) telah menjadi salah satu bisnis yang menggiurkan karena menjadi penganan alternatif. Bahkan, akibat tingginya permintaan, semua permintaan belum mampu dipenuhi. Permintaan jamur tiram dari pasar induk dan supermarket saat ini mencapai 20 ton per hari. Semua itu, belum bisa dipenuhi para petani di sentra budi daya jamur tiram di Kecamatan Cisarua dan Parongpong kawasan Lembang Bandung.

Para petani jamur tiram di Lembang baru bisa memenuhi setengahnya atau 10 ton per hari untuk kebutuhan pasar induk di Bandung, Tangerang, Jakarta serta beberapa supermarket.

“Peluang bisnis ini, kedepan sangat baik,” kata M Kudrat Ketua Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia (MAJI) saat ditemui di sentra budi daya Cisarua. Selain tren tadi, juga disebabkan Deptan mengelompokan jamur sebagai sayuran organik yang dibudidayakan tanpa pestisida.

Akibatnya, kini, tren permintaan setiap tahun terus melonjak rata-rata 10% per tahun. “Tapi belum sebanding dengan pasokan. Bahkan penambahan jumlah petani jamur tiram, pun belum mencukupi.”

Sejak 2006, pasar jamur tiram sudah beralih ke supermarket. Tapi pasokan jamur tiram dari MAJI ke supermarket masih terbilang rendah 0,5 ton per hari. Padahal, beberapa konter Toserba Yogya di Bandung mengemas jamur secara cantik sehingga menarik minat konsumen. Senior Operation Manager Toserba Yogya Bandung Hendarta mengatakan pasar jamur tiram untuk kalangan ekonomi menangah ke atas. “Mereka umumnya mengerti soal kesehatan dan jamur bergizi tinggi selain pangan organik,” ujarnya.

Dia mengakui prospek pasar jamur tiram ke depan sangat tinggi jika dibare- ngi dengan sosialisasi ke masyarakat. Terutama mengenai kandungan gizi dan manfaat mengonsumsi jamur. “Jamur bisa menjadi substitusi daging atau telur ayam. Kandungan gizinya hampir sama,” tambahnya.

Berdasarkan penelitian Sunan Pongsamart, biochemistry, Faculty of Pharmaceutical Universitas Chulangkorn, kandungan asam amino esensial jamur tiram mencapai 46,0 gram/100 gram protein. Sedikit di bawah telur ayam dengan kandungan 47,1 gam/100 gram protein. Dalam 100 gram jamur mengandung 2,13 gram protein; 90,7 gram air; 32,4 kalori; 5,76 gram karbohidrat; sisanya serat zat ebsi, kalsium, vitamin B1, B2 dan Vitamin C.

Kini, jumlah petani yang terjun membudidayakan jamur tiram belum banyak kecuali di Kecamatan Cisarua Lembang Bandung, pelopor dan sentra budi daya jamur tiram di Indonesia. Kudrat mengakui beberapa daerah seperti Garut, Cianjur, Sukabumi, hingga Bali dan beberapa daerah dataran tinggi di Sumatra sudah mengembangkan jamur tiram. “Namun masih terbatas.” Di Lembang, jumlah anggota MAJI yang membudidayakan jamur tiram 300 orang. Mereka membentuk kelompok-kelompok usaha guna memenuhi tingginya permintaan itu.

Peluang Investasi
Budi daya jamur relatif mudah dan murah. Selain bahan baku media serbuk gergaji yang berlimpah, jamur tiram termasuk tanaman bandel terhadap hama dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Itu sebabnya jamur digolongkan tanaman organik karena bebas pestisida. Basuki Rachmat, Sekretaris MAJI, mengatakan usaha jamur minimal dibutuhkan tiga buah kumbung atau rumah tanam berupa bangunan dari bambu dan kayu di atas lahan 8×6 meter. Satu kumbung dibutuhkan biaya Rp20 juta yang tahan hingga lima tahun. Per tahun, biaya susutnya 10%.

Dalam satu kumbung dibuat rak-rak yang mampu menampung 10.000 media siap tanam (baglog) yang bisa langsung dibeli di Cisarua seharga Rp1.250 per baglog. Baglog merupakan campuran media tanam dengan bahan baku utama serbuk gergaji dan campuran material organik lainnya yang mengandung lignin atau selulosa. Jika membuat sendiri harganya Rp900 per baglog tapi dibutuhkan modal lebih banyak untuk membeli peralatan pengukusan.

Panen jamur dapat dilakukan tiap hari selama empat bulan atau satu siklus masa tanam. Dari satu baglog dapat dipanen maksimal 0,6 kg. Jika punya tiga kumbung dengan 10.000 baglog per kumbung berarti total dalam satu siklus dapat dipanen 18 ton.

Dengan harga rata-rata Rp5.000 per kg di tingkat petani, maka dalam satu siklus tanam diperoleh omset Rp90 juta. Setelah dikurangi biaya produksi jamur Rp2.500 per kg termasuk harga baglog, maka keuntungan yang dapat diraih Rp 45 juta per siklus tanam. “Jika panen lancar modal awal dapat kembali dalam tempo 2 hingga 3 tahun,” kata Basuki.

Harga jamur tiram pada November-Desember lalu Rp6.500 per kg di tingkat petani. Harga ini terbilang tinggi dari harga normal, Rp5.000/kg. Harga akhir konsumen jamur berkisar Rp8.000-Rp10.000 per kg. Harga ini bisa melonjak tajam jika dikirim ke luar Jawa. Di Bali, harga jamur tiram di tingkat konsumen Rp25.000 per kg, di Kalimantan Rp30.000 per kg.

Suryani pemilik Dio Mushroom Cisarua mengaku menerima permintaan dari Singapura berupa jamur segar dan dari Timur Tengah berupa kripik jamur. Namun, belum bisa dipenuhi karena masalah kontinuitas dan teknologi pengawetan. Sebab jamur segar hanya tahan dua hari.

“Selain dibuat kripik, jamur juga dibuat krupuk. Terkadang jamur sering dijadikan substitusi bahan dasar nugget, dibuat kolak dan bahan cendol serta salad dan pepes,” ujar Nunung. Basuki menyebutkan omzet jamur tiram pada 2006 mencapai Rp20 miliar per tahun. Tapi, dalam waktu dekat, omset diprediksi menjadi Rp35 miliar hingga Rp40 miliar. “Terutama jika masuk konsumen industri jamur olahan.”

“Dari angka itu, share untuk petani Rp25 miliar hingga Rp35 miliar atau sekitar 60% dari omzet total,” jelas Basuki. Padahal, lanjut dia, tingkat konsumsi jamur di Indonesia tergolong rendah. Data MAJI menyebutkan, pada 2004 konsumsi jamur orang Indonesia 0,05 kg/kapita per tahun. Di Prancis mencapai 4,5 kg/kapita per tahun dan di China 3,5 kg/kapita per tahun. Untuk ekspor, lanjut Basuki, pasar potensial ada di Amerika, Eropa dan Asia Timur.

0 komentar:

Posting Komentar